Penulis :
Hence Mandagi, Ketua Umum DPP SPRI
Jakarta, Investigasi Birokrasi.Net, Menyusul terbitnya putusan Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) atas pelanggaran etik berat eks Ketua MK Anwar Usman pasca putusan MK nomor 90/PUU-XXI/2023 tentang Ketentuan Tambahan Pengalaman Menjabat dari Keterpilihan Pemilu dalam Syarat Usia Minimal Capres/Cawapres, kegaduhan di kalangan elit politik pun kini merembet hingga ke tingkat perbincangan rumah kopi.
MK yang tadinya bersih kinclong pasca putusan tersebut, kini ditaburi ‘kotoran’ cibiran elit politik dan komentator. Akibatnya, putusan yang belum tentu buruk dan merugikan bangsa ini, terpaksa harus mengalami nasib dipolitisasi dan diptoret buruk oleh elit politik dan gerakan media massa yang sangat masif.
MK yang sudah dikotori ujaran negatif dipaksa harus dibersihkan dengan alat “sapu” MKMK” yang dikomandoi Jimly Asshidiqie. Akibat tekanan media dan elit politik (bukan publik) Anwar Usman akhirnya lengser dari kursi Ketua MK.
Merespon putusan MKMK yang memberhentikannya dari kursi Ketua MK Anwar Usman pun balik membuka “aib” putusan MK di masa lalu, baik saat Jimly Asshidiqie masih menjabat Ketua MK, maupun saat Mahfud MD menjadi Ketua MK. Anwar Usman membeberkan beberapa putusan yang sangat terkait konflik kepentingan.
Termyata “sapu” MKMK untuk membersihkan MK itu ternyata “kotor” di masa lalu. Bagaimana mungkin sapu kotor membersihkan lantai bersih yang dilapisi “karpet kotor” ( baca : komentar negatif elit politik).
Publik pun dibuat makin heboh dan bingung. Beragam respon dari lawan politik justeru menyerang Presiden RI Joko Widodo atas putusan MK tentang batas usia Capres dan Cawapres yang praktis meloloskan Gibran Rakabuming Raka sebagai Cawapres mendampingi Capres Prabowo Subianto, tokoh yang sejak lama diidolakan dan dikagumi adiknya Kaesang Pangareb.
Mulai dari Megawati Soekarno Putri, Rocky Gerung, dan baru-baru ini sejumlah tokoh agama dan tokoh nasional, ikut mengaku prihatin atas persoalan putusan MK dan MKMK.
Terlepas dari semua itu, permasalahan politik jelang Pemilu sudah menjadi fenomena yang patut disikapi secara bijaksana.
Putusan MK tentang batas usia Capres dan Cawapres sesungguhnya memberi kesempatan kepada generasi muda berpengalaman memperoleh anugerah mengabdi dan memimpin negeri ini.
Presiden RI pertama Ir. Soekarno pernah berujar : “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”. Sebuah kalimat legenda yang kini menjadi kenyataan.
Dengan keputusan yang maha penting bagi bangsa ini, MK secara tidak langsung menjawab harapan Bung Karno dan harapan seluruh anak muda Gen Z, dengan memberi peluang kepada seluruh pemuda Indonesia yang berpengalaman untuk memimpin bangsa ini setiap 5 tahun.
Tak heran, satu sosok fenomenal yang terlahir sebagai putra orang nomor 1 di Indonesia, berhasil menguncang satu Indonesia gara-gara lolos jadi Cawapres pasca putusan MK.
Sosok Gibran Rakabuming Raka memang pantas menuai kontroversi dan simpati. Sejak beberapa tahun terakir, publik sudah terbiasa melihat pemandangan tokoh-tokoh paling berpengaruh di republik ini silih berganti menemui “anak ingusan” sejak dia menjabat Walikota Solo.
Seolah ada magisnya, sederet tokoh nasional terang-terangan menemui Gibran dengan alasan dan agenda masing-masing. Tak kurang dari Ganjar sebagai Gubernur Jawa Tengah ketika itu, Anis Baswedan, Prabowo Subianto, Erlangga Hartarto, Erick Thohir, dan sederet menteri, Kapolri, dan petinggi Partai Politik pun pernah bertemu Gibran. Bahkan Rocky Gerung sekalipun sudah bertemu Gibran.
Sosok Gibran sudah menjelma menjadi ikon anak muda kharismatik yang mampu merubah konstalasi politik nasional. Seolah-olah ketokohan seseorang belum menjadi tokoh penting jika belum merapat ke Solo bertemu “anak ingusan” dengan sederet prestasi.
Rakyat dan kondisi Kota Solo terkini adalah etalase kaberhasilan Gibran dalam menjalankan kepemimpinannya. Kepuasan publik dan rekam jejak mentereng Gibran saat memimpin Kota Solo sebagai walikota, pastilah menjadi modal dan keyakinan seorang mantan Komandan Kopasus Prabowo Subianto jatuh hati dan yakin pada instingnya memilih Gibran sebagai pendampingnya.
Jokowi pun luluh dan tidak melarang anaknya mendampingi mantan rivalnya di 2 kali pilpres tersebut. Kendati resiko harus berhadapan dengan Partai PDIP yang selama ini menjadikannya Petugas Partai.
Faktanya, publik kini menyadari bahwa Gibran yang merupakan satu sosok anak muda fenomenal sudah berhasil mengguncang dunia.
Akankah PDIP dan para elit politik, tokoh agama, dan para tokoh nasional tetap pada pendiriannya melihat sisi negatif putusan MK dan pencalonan Gibran sebagai “aib” hukum dan demokrasi, atau setuju pada apa yang menjadi harapan Bung Karno sang Proklamator, Bapak Bangsa yang pernah berkata : “Beri aku 10 pemuda, niscaya akan kuguncangkan dunia”.
Terlalu mahal stabilitas keamanan negara jelang Pemilu jika harus diwarnai kisruh elit politik yang terus mengasah perpecahan di masyarakat.
Baca berita dan informasi menarik lainnya dari investigasibirokrasi.net di Google News.