Jakarta, Investigasi Birokrasi.net-Kekhawatiran kelompok penyedia jasa internet lokal atas masuknya Starlink ke Indonesia rasanya cukup berlebihan karena faktanya Fiber optik dan Wireless tidak bisa disamakan dengan Operator Satelit. Pernyataan itu disampaikan Ketua Umum Komite Penyelarasan Teknologi Informasi dan Komunikasi (KPTIK) Ir. Dedi Yudianto, MBA melalui pesan tertulis pada Senin (3/6/2024) di Jakarta, menanggapi beragam komentar miring dari sejumlah pihak atas kehadiran Starlink di Indonesia.
Sebagai pakar teknologi informasi & Komunikasi (TIK ) yang menggeluti bisnis Internet Service Provider selama lebih dari 20 Tahun, Ia justru mengapresiasi kehadiran bisnis internet berbasis satelit milik konglomerat Elon Musk tersebut. Kehadiran Starlink di Indonesia, menurutnya justru mendukung aktifitas warga yang tinggal di daerah 3T atau daerah yang tertinggal, terdepan, dan terluar yang tidak Tercover Fiber Optik & Wireless.
“Jadi tidak ada alasan untuk khawatir berlebihan. Kehadiran Starlink justru sangat membantu warga yang tinggal di daerah 3 T. Akses internet di pulau terluar Indonesia justru makin terjangkau. Selain kapasitas dan kecepatannya melebihi Satelit operator lama, harga peralatannya juga jauh lebih murah,” ujar Dedi yang juga merupakan Inisiator Warkop Digital & CEO Cybers Group
Dedi pun menerangkan perbandinganya, jika internet yang ditawarkan perusahaan satelit yang ada hanya bermain di sekitar 1 – 10 megabit upload dan 10 – 50 megabit download. Sementara di Starlink, menurut Dedi, kapasitasnya bisa mencapai 30 megabit upload dan 300 megabit download dengan Latency cukup rendah yakni 35 ms dibanding Operator Satelit lain diatas 200 ms.
“Perbedaannya sangat jomplang. Harusnya kondisi ini disyukuri karena warga kita bisa terlayani akses internet dengan harga Peralatan 7 jt an dan bulanan 750 ribu dengan kapasitas besar, kecepatan luar biasa, latency rendah dan harga jauh lebih murah dan terjangkau,” ungkap Dedi.
Yang harus dipersoalkan, lanjut pengusaha muda ini, justru bukan kehadiran Starlink di Indonesia, tapi dampak dari ketersediaan layanan internet dengan kapasitas besar dan kecepatan yang luar biasa tersebut.
“Mudahnya akses internet di pusat kota, justru menjadi penyebab pemerintah sibuk mengurusi akses judi online dan pornografi yang sangat massif di Indonesia.
Sementara pengguna internet di daerah 3 T atau pelosok mungkin lebih produktif memanfaatkan teknologi dan layanan akses internet karena harga masih lebih mahal sehingga mereka harus bisa produktif ,” terang Dedi, sosok pendiri media online warga guetilang.com dan penggagas awal beritajakarta.id Portal Pemprov DKI Jakarta, dan saat ini tengah mempersiapkan program Kompetisi Jurnalis Kebangsaan bersama BNPT untuk Mahasiswa dan Perguruan Tinggi se-Indonesia.
Ia pun berharap semua pihak memikirkan bagaimana mendorong masyarakat untuk memanfaatkan layanan internet pasca masuknya Starlink dengan menciptakan konten-konten menarik dan bermanfaat bagi banyak orang, serta yang terutama menjadi produktif dalam menyongsong Indonesia Emas & bonus demografi kedepan.
“Ketika internetnya sudah dengan kapasitas besar dan kecepatan aksesnya juga sangat kencang, maka kontennya juga harus dipikirkan agar masyarakat pengguna internet lebih produktif dan tidak hanya mengakses judi online atau pornografi. Ini yang harus dipikirkan anak bangsa bersama-sama,” pungkasnya.
Baca berita dan informasi menarik lainnya dari investigasibirokrasi.net di Google News.