JAKARTA, Investigasi Birokrasi.Net, Pengertian sengketa pertanahan disebutkab dalam Rumusan Pasal 1 Peraturan Mentri Negara Agraria/BPN Nomor 1 Tahun 1999 tentang tata cara penanganan sengketa pertanahan, selanjutanya disebut PMNA/KBPN 1/1999 yaitu antara pembedaan pendapat antara yang berkepentingan mengenai keabsahan suatu hak pemberian hak atas tanah, pendaftaran hak atas tanah, termasuk peralihan dan penerbitan tanda bukti haknya serta pihak yang berkepentingan yang merasa mempunyai hubungan hukum dan pihak lain yang berkepentingan terpengaruh oleh status hukum tanah tersebut, maka sengketa pertanahan bisa terjadi dan berdampak luas baik secafa horizontal maupun vertical.
Sedangkan sengketa vertical yaitu antara masyarakat dengan pemerintah atau lembaga negara, sengketa seperti ini masi sangat mungkin terjadi yang disebabkan suatu proses peralihan hak atas tanah dari zaman penjajahan belanda, jepang, kemudian dari pemerintah jepang ke negara indonesia tidak terproses secara yuridis dan administrasi yang akibatnya bukti kepemilikan tanah masi ada yang tidak jelas dan kasusnya baru muncul sekarang, dan bila dicari sejarah tanahnya tidak cocok antara bukti yang satu dengan bukti yang lainnya.
Sedangkan sengketa horizontal yaitu suatu persengketaan yang terjadi antara perorangan di masyarakat baik secara pribadi maupun kelembagaan, maka penyelesaian sebetulnya cukup antara yang bersengketa dapat menyelesaikannya sendiri, dan bisa dengan cara konsiluasi (kekeluargaan). Sehingga penyelesaian sengketa seperti itu juga membutuhkan perhatian yang sangat serius dan sangat mungkin dapat melibatkan peran pemerintah, baik sebagai mediator maupun sebagai litigator.
Oleh karena itu, fungsi dan tugas pokok pemerintah sebagai lembaga negara secara umum berfungsi sebagai pelindung semua kepentingan yang ada dalam masyrakat. Apabila yang bersengketa lembaga negara dengan masyarakat, maka peran negara sebagai pelindung akan samar samar, sedangkan masyarakat posisinga harus dilindungi.
Untul melindungi dan mewujudkan yang kondusif antara yang melindungi dengan yang dilindungi harus ada persamaan visi dan misi. Bahkan kendala kasus pertanahan seperti berbentuk segitiga, tapi bukan segitiga sama kaki yang dan mempunyai kekuatan yang sama, yang artinya berbentuk segitiga, karena unsur yang bersengketa terdiri dari masyarakat, lembaga negara dan bukan lembaga negara serta menjadi satu kesatuan.
Kasus yang sangat menonjol didalam masyarakat yaitu terkait Sertifikat Tanah yang di gandakan dan bisa dikatakan multi sertifikat, sehingga menyebabkan satu bidang tanah sertifikat bisa lebih dari satu, hal ini dikarenakan yaitu Kebutuhan tanah tidak terpenuhi atau tidak cukup, Keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM), Terjadinya transaksi tanah yang tidak prosedural, Kurangnya transparansi mengenai pertanahan.
Tumpang tindih penerbitan keputusan dari instansi yang berhubungan langsung dengan pertanahan, dan lembaga yang berwenang mengeluarkan sertifikat yaitu Kementrian Agraria dan Tata Ruang/BPN. Jika sebidang tanah ada terdapat dua sertifikat atau lebih, maka yang pasti disalahkan adalah BPN.
Normatifnya jika sebidang tanah sudah dikeluarkan satu sertifikat yang kedua, ketiga, dan seterusnya, atas permintaan masyarakat dengan alasan sertifikat yang pertama hilang, kena banjir, kebakaran atau rusak dan sebagainya, maka prosedur pengajuan sertifikat kedua dan ketiga tidak valid, ternyata sertifikat yang pertama masi ada, sehingga dalam satu bidang tanah muncul beberapa sertifikat tanah dan ini dinamakan sengketa pertanahan didalam masyarakat ataupun lembaga negara.