Oleh
Ramses Terry Praktisi Hukum & Akademisi, Advokat dibidang Pertambangan, Mediator & Arbiter, Wakil Ketua Ujian Profesi Advokat DPN Peradi.
Jakarta, Investigasi Birokrasi.net. Batubara merupakan salah satu sumber energi yang masih digunakan di dunia karena sampai saat ini batu bara merupakan salah satu sumber energi yang tergolong murah, dan kebutuhan batu bara global didominasi sebagai sumber energi, selebihnya digunakan untuk industri besi dan baja, kimia, dan semen, namun beberapa negara eropa dan amerika serikat mulai meninggalkan pemakaian batu bara menuju pemanfaatan energi baru dan terbarukan. Batu bara merupakan campuran yang sangat kompleks dari zat kimia organik yang mengandung unsur karbon, oksigen, dalam sebuah rantai karbon. Menurut Undang Undang Nomor 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang pertambangan mineral dan batu bara, sedangkan batu bara merupakan endapan senyawa organik karbonan yang terbentuk secara alamiah dari sisa tumbuh tumbuhan, sedangkan endapan batu baru yang ada di Indonesia tersebar di sumatera, kalimantan, seperti di Aceh, sumatera selatan, kalimantan timur dan kalimantan selatan.
Berdasarkan data dari Badan Geologi Kementrian Energi Sumber Daya dan Mineral (ESDM) pada tahun 2020, total sumber daya dan cadangan batu bara Indonesia sebesar 143,7 miliar ton dan 38,8 miliar ton, jika dibandingkan dengan data total cadangan batu bara dunia yang mencapai 1.074 miliar ton pada tahun 2021, jadi cadangan batu bara Indonesia berjumlah sekitar 4% dari cadangan batu bara dunia atau menduduki peringkat ke 6 dunia, sehingga Indonesia mempunyai peran penting dalam industri pertambangan batubara global.
Indonesia adalah salah satu produsen dan eksportir batu bara terbesar di dunia. Sejak tahun 2005, ketika melampaui produksi Australia, Indonesia menjadi eksportir terdepan batu bara thermal. Porsi yang signifikan dari batu bara thermal yang diekspor terdiri dari jenis kualitas menengah (antara 5100 dan 6100 cal/gram) dan jenis kualitas rendah (di bawah 5100 cal/gram) yang sebagian besar permintaannya berasal dari Cina dan India. Berdasarkan informasi yang disampaikan oleh Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Indonesia, cadangan batu bara Indonesia diperkirakan habis kira-kira dalam 83 tahun mendatang apabila tingkat produksi saat ini diteruskan.
Ada banyak kantung cadangan batu bara yang kecil terdapat di pulau Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, namun demikian tiga daerah dengan cadangan batu bara terbesar di Indonesia seperti di Sumatera Selatan, Kalimantan Selatan, dan Kalimantan Timur. Industri batu bara Indonesia terbagi dengan hanya sedikit produsen besar dan banyak pelaku skala kecil yang memiliki tambang batu bara dan konsesi tambang batu bara (terutama di Sumatera dan Kalimantan).
Kondisi produksi batubara di dunia kini sedang tidak menentu disetiap wilayah, produksi batubara dunia pada tahin 2020 mencapau 7.742 juta ton batubara. Mengutip dari The British Petroleum Companny plc (2021) tentang Statistical Review of World Energy 70th Editions, Inggris, BP plc bahwa Dikawasan asia pasifik menjadi kawasan produsen terbesar di dunia yaitu sebanyak 76% dari produksi batubara dunia, dengan china sebagai peringkat pertama menyumbang sekitar 50% atau mencapai 3.902 ton pada tahun 2020, dan India diperingkat kedua sebagai produsen terbesar dunia menyumbang sekitar 10% atau sekitar 757 juta ton. Disisi lain, pruduksi di Amerika Serikat dan Uni Eropa megalami penurunan, menurut International Energy Agency (IEA), bahwa pruduksi batubara globar merosot 4,8% pada 2020, maka penurunan produksi ini dikarenakan permintaan batubara di AS dan Uni Eropa menurun drastis, walaupun AS menempat8 peringkat pertama cadangan batubara terbesar di dunia dengan total cadangan 248,9 miliar ton, pruduksi batubara du AS menurun drastis sebesar 24% pada 2020, sedangkan pruksi batu bara di Uni Eropa jufa menurun drastis sebesar 19% pada tahun 2020.
Mengutip dari Buku Internastional Energy Agency tentang Analysis and Forecast, IEA Publications bahwa pola perdagangan batu bara ineternasional diperkirakan akan bergeser ke arah Asia, dan pada tahun 2020, volume perdagangan batubara menyusut sekitar 11% dari tahun 2019, sedangkan untuk tahun 2021 akan diperkirakan volume perdagangan juga akan pulih seiring dengan pulihnya permintaan batubara dengan peningkatan sebesar 5%. Mengutip dari Mckinsey & Co dalam bukunya tentang Global Energy Perpective tahun 2021 bahwa proyeksi supplay demand batubara global berdasarkan rencana induk minerba dari Kementrian ESDM menunjukan bahwa permintaan batubara akan mengalami penurunan hingga 25% pada tahun 2023 dan 40% pada tahun 2050, oleh karena itu, penurunan tersebut dikibatkan dari pengetatan peraturan lingkungan dan energi baru terbarukan (EBT), gas alam, dan elektrifikasi yang semakin kompetitip. Peak demand atau puncak permintaan bahan bakar fosil berada pada tahun 2027, sedangkan puncak permintaan batubara termal telah berlalu pada tahun 2014. Maka kedepannya, akan terjadi masa transisi energi dan fosil ke energi baru terbarukan (EBT).
Arah kebijakan pemanfaatan batubara di Indonesia menurut Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional yaitu memprioritaskan batubara sebagai sumber energi, sehingga terdapat beberapa poin penting dalam kebijakan tersebut, yaitu diantaranya peningkatan nilai tambah batubara untuk gasifikasi dan likuifaksi, jaminan pasokan batubara untuk kebutuhan dalam negeri, dan peningkatan kegiatan eksplorasi batubara untuk tambang terbuka dan tambang bawah tanah, serta peningkatan kemampuan teknologi penambangan dan pemanfaatan batubara.
Berdasarkan Direktorat Jenderal Mineral dan Batubara dalam bukunya yaitu Grand Strategy Mineral dan Batubara, Jakarta 2021 yaitu Berdasarkan Domestic Market Obligation) pada tahun 2021, bahwa kebutuhan barubara untuk kepentingan dalal negeri sebesar 133 juta ton, maka pemanfaatan batubara dalam negeri sebagian besar yaitu 80% digunakan dan dimanfaagkan sebagai bahan bakar pembangkit listrik sekitar 10% digunakan untuk pengolahan dan pemurnian, sedangkan 5% untuk pembuatan semen, serta sebagian lainnya untuk kertas, pupuk, tekstil dan lain lainnya. Sehingga Pemerintah telah merencanakan pemenuhan kebutuhan batubara dalam negeri tahun 2020 hingga seterusnya, oleh karena itu, kewajiban DMO bagi semua perusahaan sebesar 25% dari tingkat produksi.
Penggunaan batubara di Indonesia sebagai bahan bakar pembangkit listrik direncanakan akan meningkat dalam kurun waktu beberapa tahun kedepan. Pada tahun 2021, kebutuhan batubara untuk Perusahaan Listrik Negara mencapai 112 juta ton batubara. Maka Pemerintah Indonesia pada tahun 2021 telah menetapkan bahwa limbaj batubara yang dihasiljan dari pembakaran batubara pada pembangkiy listrik tenaga uap (PLTU) dan industri berbahan bakar batubara lainnya berupa fly ash dan bottom ash (FABA) sebagai limbaj non B3. Hal tersebut didasarkan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah Nomor 22 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang menyatakan bahwa FABA dari proses pembakaran batubara pada boiler tetap tergolong limbah B3, sedangkan FABA dari prosea pembakaran batubara PLTU merupakan limbah non B3 dan tetap perlu dilakukan pengelolaan. Sehingga tujuan ditetapkan peraturan tersebut yairu untuk memudahkan pelaku usaha pertambangan batubara tetapi tetap harus memperhatikan aspek lingkungan dengan cara memanfaatkan kembali limbah FABA yang di hasilkan.
Dalam program listrik 35.000 MW yang sedang dikerjakan pemerintah dengan mendorong peran swasta untuk berpatisipasi melalui proyek Engineering, Procurement and Constriction (EPC), skema indepedent power producer (IPP), Kerjasama pemerinrah swasta (KPS), sewa beli (Buil, lease, and transfer), serta private power utility (PPU) atau penetapan wilayah usaha. Dengan progran listrik tetsebut didominasi oleh pembangkit listrik tenaga uap (PLTU), yakni sebesar 56,97% dari total pembangkit listrik yang dibangun. Dalam upaya mengurangi polusi yang timbul, pemerintah mendorong penggunaan clean coal teknologi (CCT), untuk PLTU, utamanya yaitu di sistem kelistrikan pulau sumatera.
Dalam Buku tentang Optimalisasi Pemanfaatan Batubara yang ditulis oleh KESDM 2021 yaitu Salah satu teknologi batubara bersih di Indonesia yaitu teknologi peningkatan efesiensi termal menggunakan boiler jenis supercritical dan ultra supercritical. Dengan Penggunaan teknologi boiler supercritical mampu menciptakan efesiensi proses pembangkitan batubara sekitar 30%, sedangkan teknologi ultra supercritical mampu memberikan efisiensi yang mencapai 40%.
Pasca pembentukan Undang Undang Mineral dan Batubara, semangat riset tumbuh di berbagai lembaga penelitian, khususnya dalam pemanfaatan batubara. Salah satunya yaitu badan penelitian dan pengembangan (Badan Litbang) ESDM yang mengkaji terkait teknologi hilirisasi batubara. Hasil kajian atau riset tersebut yaitu menentukan teknologi hilirisasi batubara yang layak di Indonesia dengan mempertimbangkan beberapa hal terkait ketersediaan batubara dan karakteristiknya, teknologi, aspek ekonomi, serta lingkungan. Hasil riset dari badan litbang ESDM menunjukan bahwa teknologi hilirisasi batubara yang layak saat ini yaitu gasifikasi batubara dengan produk methanol, amonia, hidrogen, dan dimethyl ether (DME), coal upgrading atau peningkatan mutu batubara dengan produk berupa batubara kalori lebih tinggi, dan pembuatan semi kokas, carbon raiser, dan activated carbon, serta material maju karbon berupa coal tar putch (CTP) dan prekursor karbon, dan menurut badan litbang ESDM, bahwa terknologi hilirisasi batubara lain masih belum layak, dikarenakan faktor ekonomi yang belum layak secara komersial di Indonesia.
Baca berita dan informasi menarik lainnya dari investigasibirokrasi.net di Google News.