Ramses Terry Praktisi Hukum & Akademisi, Advokat Pertambangan Indonesia, Mediator & Arbiter Nasional, Wakil Ketua Ujian Profesi Advokat DPN Peradi.
Jakarta, Investigasi Birokrasi,net Canggihnya transaksi bisnis internasional telah memfasilitasi sebagai bentuk money laundring yang akhirnya mengaburkan semua uang hasil kejahatan. Salah satu contoh misalkan hasil korupsi di Indonesia disembunyikan atau di samarkan ke berbagai negara penadah hasil kejahatan melalui berbagai transaksi keuangan dan transaksi bisnis yang kompleks dengan cara penempatan, pentransferan, pelapisan dan pengintegrasian maupun bentuk lainnya. Karena untuk bisa menilai bagaimana urgensi sistem pembuktian terbalik maka harus diketahui dampak dan kerugian dari pencurian uang.
Beberapa dampak negatif dan kerugian yang ditimbulkan oleh kegiatan pencucian uang terhadap masyarakat yaitu antara lain yaitu pencucian uang memungkinkan para pengedae narboka, penyelundup dan penjahat lainnya untuk dapat memperluas kegiatan operasinya, hal ini akan mengakibatkan meningkatnya biaya penegakan hukum untuk memberantasinya, Kegiatan ini mempunyai potenau merongrong masyarakat keuangan sebagai akibat demikian besarnya jumlah uang yang terlibat dalam kegiatan tersebut, potensi untuk melakukan korupsi meningkat bersamaan, pencucian uang mengurangi pendapatan pemerintah dari pajak dab secara tidak langsung merugikan para pembayar pajak yang jujur dan mengurangi kesempatan kerja yang sah, masuknya uang dan dana hasil kejahatan ke dalam keuangan suatu negara telah menarik unsur yang tidak diinginkan melalui perbatasan, menurunkan kualitas hidup, dan meningkatkan kekhawatiran terhadap keamanan nasional, pencucian uang juga dapat merugikab sektor swasta yang sah, salah satu dampak mikro ekonomi pencucian uang disektor swasta. Para pelaku kejahatan seringkali menggunakan perusahaan persusahaan untuk mencampur uang haran dengan uang sah, dengan maksud untuk menyamarkan uang hasil kejahatan.
Beban pembuktian terbalik diatur di dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yaitu ada pembuktian biasa yang mempunyai kewajiban untuk membuktikan suatu pernyataan atau tuduhan oleh Jaksa Penuntut Umum, yang diatur dalam Rumusan Pasal 66 KUHAP yang menyebutkan tersangka atau terdakwa tidak dibebani kewajiban pembuktian, pembuktian terbalik terbatas dan berimbang yairu terdakwa juga dibebani kewajiban untuk membuktikan, tetapi peranan penuntut umum tetap aktif dalam membuktikan dakwaanya, sehingga beban pembuktian ini jika terdakwanya mempunyai alibi dan terdakwanya dapat membuktikan kebenaran alibinya maka beban pembuktian akan berpindah ke penuntut umum untuk membuktikan sebaliknya, beban pembuktian terbalik yaitu beban pembuktikan ini yang mempunyai beban pembuktian adalah terdakwa, sedangkan penuntut umum akan bersikap pasif, bila terdakwa gagal melakukan pembuktian maka dia akan dinyatakan kalah, karena sistem ini merupakan penyimpangan dari asas pembuktian itu sensiri.
Apabila dalam sistem pembuktian hukum pidana formil tetap JPU sebagai pihak yang wajib membuktikan perbuatan yang di kategorikan sebagai tindak pidana, dalam tindak pidana pencucian uang bawah beban pembuktian terletak pada terdakwa, yang artinya terdapat reversal burden of proof atau omkering van de bewijslast yaitu pwmbalikan beban pembuktian. Oleh karena itu, terdakwa wajib membuktikan perbuatan yang dilakukan tidak melanggar hukum. Sehingga dengan demikian bahwa asas yang diberlakukan beralih dari presumtion of innocence yaitu asas praduga tidak bersalah menjadi asas presumption of guilt yaitu menjadi praduga bersalah. Didalam Rumusan Pasal 77 dan 78 Undang Undang Nomor 8 Tahun 2010 diatur terkait pembuktian terbalik.
Bahwa pembuktian terbalik merupakan beban pembuktian ada pada terdakwa. Dalam tindak pidana pencucian uang yang wajib dibuktikan adalah asal usul harta kekayaan yang bukan berasal dari tindak pidana, salah satu contoh yaitu bukan berasal dari korupsi, kejahatan narkotika serta perbuatan yang tidak melanggar undang undang dan hukum itu sendiri. Dalam Rumusan Pasal 77 dan 78 undang undang Tindak Pidana Pencuciang Uang (TPPU) Nomor 8 Tahun 2010 tersebut berisi ketentuan bahwa terdakwa diberikan kesempatan untuk membuktikan harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana, maka ketentuan ini sebagai asas pembuktian terbalik, dan dimana sifatnya sangat terbatas yaitu hanya berlaku pada sidang di pengadilan, dan tidak pada tahap penyidikan. Selain itu tidak pada semua tindak pidana, hanya pada serious crime atau tindak pidana berat seperti korupsi, penyelundupan, narkotika, psikotropika atau tindak pidana perbankan.
Dengan sistem ini, justru terdakwa yang harus membuktikan, bahwa yang didapatnya bukan dari hasil tindak pidana kejahatan yang dilakukan, dan yang harua dilakukan yaitu mengetahui apa saja terkait bentuk aset aset tindak pidana korupsi, dimana disimpan dan atas nama siapa. Dalam pemeriksaan tindak pidana pencucian uang terhadap harta kekayaan yang diduga merupakan hasil dari tindak pidana asalnya. Tindak pidana pencucian uang merupakan indepedent crime yang artinya kejahahatan yang berdiri sendiri, walaupun merupakan kejahatan yang lahir dari kejahatan asalnya, contohnya korupsi, namun rezim anti pencucian uang di hampir seluruh negara menempatkan pencucian uang sebagai suatu kejahatan yang tidak bergantung pada kejahatan asalnya dalam hal akan dilakukan proses penyididikan pencucian uang. Dalam proses persidangan di pengadilan, terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil dari suatu tindak pidana (merupakan asas pembuktian terbalik), sehingga untuk kelancaran proses pemeriksaan di pengadilan, maka dalam hal ini terdakwa telah dipanggil secara sah dan patut tidak hadir pada saat persidangan di pengadilan tanpa suatu alasan yang sah, perkara dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa sesuai dengan Rumusan Pasal 79 ayat (1) Undang Undang No.8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
Baca berita dan informasi menarik lainnya dari investigasibirokrasi.net di Google News.