Jakarta, Investigasi Birokrasi
Kita tahu bahwa pertambangan menjadi salah satu sumber penerimaan negara yang sangat besar, Oleh karena itu, aktivitas penambangan memiliki peran sentral dalam kelangsungan bisnisnya.
Bahwa dalam aktivitas bisnis tidak dapat dipungkiri akan selalu terjadi potensi-potensi persengketaan, Demikian juga dalam aktivitas bisnis industri pertambangan mineral dan batu bara (Minerba). Maka, Sengketa pertambangan Minerba ini meliputi hampir seluruh aspek.
Misalkan aspek penanaman modal, perdagangan, pemerintahan, kehutanan, perindustrian, ketenagakerjaan, lingkungan hidup, dan masyarakat hukum adat. Dan sengketa-sengketa tersebut dapat melibatkan hampir seluruh sektor kehidupan berbangsa dan bernegara, Terutama yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan daerah, hubungan pemerintah pusat dan daerah, lintas kementerian/lembaga pemerintahan non-kementerian, lembaga negara, pelaku usaha, masyarakat adat, masyarakat lokal, dan pelaku usaha.
Dalam Undang-Undang No. 3 Tahun 2020 tentang Perubahan atas Undang-Undang No. 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara (Revisi UU Minerba) telah memberikan serangkaian aturan mengenai bentuk-bentuk sengketa dalam usaha pertambangan minerba.
Pola penyelesaian sengketa pertambangan yaitu merupakan suatu bentuk atau kerangka untuk mengakhiri suatu pertikaian atau sengketa yang terjadi antara para pihak, maka pola penyelesaian bidang pertambangan dengan melalui pengadilan dan alternatif penyelesaian sengketa. Penyelesaian sengketa melalui pengadilan yaitu suatu pola penyelesaian sengketa yang terjadi antara para pihak yang bersengketa, sehingga penyelesaian sengketa tersebut diselesaikan di lembaga peradilan, dan putusannya bersifat mengikat. Proses litigasi mensyaratkan pembatasan sengketa dan persoalan persoalan sehingga para hakim atau para pengambil keputusan lainnya dapat lebih siap membuat keputusan.
Mengutip pendapat Nader dan Todd, bahwa keadaan dimana konflik tersebut dinyatakan di muka atau dengan melibatkan pihak ketiga, prakonflik adalah keadaan yang mendasari rasa tidak puas seseorang, sedangkan konflik itu sendiri adalah keadaan dimana para pihak menyadari atau mengetahui tentang adanya perasaan tidak puasnya tersebut.
Penyelesaian sengketa melalui alternatif (ADR) yaitu lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli sesuai dengan Rumusan Pasal 1 angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Penyelesaian Alternatif Pilihan Penyelesaian Sengketa.
Apabila mengacu pada Rumusan Pasal 1 Angka 10 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999, bahawa cara penyelesaian sengketa melalui ADR dibagi menjadi lima (5) cara yaitu dengan konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi atau dengan pendapat dan penilaian ahli.
Penggunaan sistem litigasi mempunyai keuntungan dan kekurangan dalam penyelesaian suatu sengketa, keuntungannya yaitu dalam mengambil ahli keputusan dari para pihak, litigasi sekurang kurangnya dalam batas tertentu menjamin bahwa kekuasaan tidak dapat mempengaruhi hasil dan dapat menjamin ketentraman sosial, litigasi sangat baik untuk menemukan kesalahan kesalahan dan masalah masalah dalam posisi pihak lawan, juga dapat memberikan suatu standar bagi prosedur yang adil dan memberikan peluang yang luas kepada para pihak untuk didengar keterangannya sebelum mengambil keputusan, dan dapat membawa nilai nilai masyarakat untuk penyelesaian sengketa pribadi, serta dalam sistem litigasi, para hakim menerapkan nilai nilai yang hidup dalam masyarakat yang terkandung dalam hukum untuk menyelesaikan sengketa.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa litigasi hanya menyelesaikan sengketa, tetapi lebih dari itu juga, menjamin suatu bentuk ketertiban umum, yang tertuang dalam Undang Undang secara eksplisit maupun implisit.
Mengutip Pendapat Steven Rosenberg mengartikan konflik sebagai prilaku bersaing antara dua orang atau kelompok. Konflik terjadi ketika dua orang atau lebih berlomba untuk mencapai tujuan yang sama atau memperoleh sumber yang jumlahnya terbatas.
Kekurangan dalam litigasi yaitu memaksa para pihak pada posisi yang ekstrem, memerlukan pembelaan atas setiap maksud yang dapat mempengaruhi putusan, untuk persamaan dan kepentingan para pihak melakukan penyelidikan fakta yang ekstrem dan sering kali marjinal, sangat menyita waktu dan banyak pengeluaran biaya atau banyak biaya yang keluar, fakta yang dapat dibuktikan membentuk kerangka persoalan, sehingga para pihak tidak mampu mengungkapkan kekhawatiran yang sebenarnya, tidak mengupayakan untuk memperbaiki atau memulihkan kekhawatiran yang bersengketa, dan tidak cocok untuk sengketa yang bersifat polisentris yaitu sengketa yang melibatkan banyak pihak, banyak persoalan dan beberapa kemungkinan alternatif penyelesaian.
Kedua penyelesaian sengketa baik litigasi maupun non litigasi tersebut berbeda satu dengan yang lainnya. Perbedaan terletak pada kekuatan mengikat dari putusan yang di hasilkan oleh institusi tersebut. Dan persamaan dari kedua pola penyelesaian sengketa tersebut sama sama memberikan putusan atau pemecahan dalam suatu kasus.