Pembuktian Sifat Melawan Hukum Tindak Pidana Korupsi : (Study Kasus pada Putusan Pengadilan Tinggi Kalimantan Barat Nomor 11/Pidsus-TPK/2025/PT PTK Atas Nama Terdakwa Paulus Andi Mursalim)

Pembuktian Sifat Melawan Hukum Tindak Pidana Korupsi
Oleh
Ramses Terry : Indonesian Mining Lawyer Legal Consultant Association, Indonesian Mining Experts Association, Deputy Chairman of the Legal and Investment Committee of the Central Executive Board of the Indonesian Advocates Association, Mediator and Arbitrator of the Indonesian Financial Industry.

Jakarta, Investigasi Birokrasi.net- Sejalan dengan asas negara hukum bahwa setiap warga negara maupun para pejabat yang duduk dalam pemerintahan maupun swasta wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku di negara kesatuan republik indonesia. Maka itu, setiap tingkah laku pejabat atau siapapun yang menjalankan kegiatan di dalam kehidupan sehari hari harus berlandaskan hukum. Oleh karena itu apabila terjadi pelanggaran hukum oleh warga negara atau masyarakat harus diselesaikan melalui jalur hukum yang ada di masyarakat agar memperoleh suatu kepastian hukum.

Dalam berbagai tindak pidana baik yang perbuatannya melanggar hukum yang dimana diatur di dalam Kitab Undang Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu antara lain : pencurian, penggelapan, penipuan dan pemerkosaan, maupun perbuatan yang melanggara hukum khusus yaitu antara lain : Undang Undang Narkotika, Undang Undang Pencucian Uang, Undang Undang Lingkungan Hidup, Undang Undang Korupsi, Undang Undang Pertambangan, oleh karena itu, orang yang di duga sebagai pelakunya harus diproses sesuai dengan hukum dan Undang Undang yang berlaku di Wilayah NKRI.

Tindak pidana korupsi menurut UU Tipikor adalah perbuatan melawan hukum yang memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara. UU Tipikor (Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 dan UU Nomor 20 Tahun 2001) juga mengklasifikasikan korupsi ke dalam tujuh kelompok besar, yaitu kerugian keuangan negara, suap-menyuap, penggelapan dalam jabatan, pemerasan, perbuatan curang, benturan kepentingan dalam pengadaan, dan gratifikasi.

Jenis-jenis tindak pidana korupsi yaitu 1). Kerugian keuangan negara dengan melakukan perbuatan melawan hukum untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yang merugikan keuangan negara, 2). Suap-menyuap yaitu memberi atau menerima suap, baik secara langsung maupun tidak langsung,
3). Penggelapan dalam jabatan yaitu Pegawai negeri yang menggelapkan uang atau membiarkan penggelapan uang, 4). Pemerasan yaitu Pegawai negeri memeras pegawai negeri lain atau pihak lain, Perbuatan curang yaitu pemborong membuat curang, pengawas proyek membiarkan perbuatan curang, atau rekanan TNI/Polri berbuat curang, 5). Benturan kepentingan dalam pengadaan yaitu pegawai negeri yang turut serta dalam pengadaan yang diurusnya, 6). Gratifikasi yaitu apabila pegawai negeri menerima gratifikasi (hadiah) yang berhubungan dengan jabatannya tanpa melaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), 7). Unsur tindak pidana korupsi melawan hukum bahwa tindakan tersebut bertentangan dengan hukum yang berlaku, memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korporasi yaitu terjadi pengayaan yang tidak sah bagi salah satu pihak, dan merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Kalau kita melihat undang undang tindak pidana korupsi yang mencantumkam unsur melawan hukum dalam rumusan pasal 2, 12e, jo pasal 429 KUHP dan jo rumusan pasal 430 KUHP, maka ada empat (4) pasal tindak pidana korupsi yang tegas mencantumkan unsur melawan hukum. Dalam rumusan pasal 3 undang undang tipikor yang di larang yaitu menyalahgunakan kewenangan, kesempatan dan prasarana. Di dalam perbuatan menyalahgunakan kewenangan secara terselubung di dalamnya terdapat sifat melawan hukum. Setiap menyalahgunakan kewenangan dengan demikian mengandung sifat melawan hukum pidana. Maka sesungguhnya frasa menyalahgunakan kewenangan merupakan juga melawan hukum pidana.

Dalam rumusan Pasal 2 dan 3 UU Tipikor (Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi) mengatur pidana bagi perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain yang merugikan keuangan negara. Rumusan Pasal 2 yaitu mencakup perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau korporasi secara melawan hukum, dengan ancaman hukuman lebih berat. Sementara itu, dalam rumusan pasal 3 undang undang Tipikor fokus pada menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana atau karena jabatan untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi, yang secara inheren juga dapat merugikan keuangan negara.

Dalam rumusan pasal 36 Undang Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang Undang Hukum Pidana selanjutnya disebut KUHP 2023 mengatur : 1). Setiap orang hanya dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja atau karena kealpaan, 2). Perbuatan yang dapat dipidana merupakan tindak pidana yang dilakukan dengan sengaja, sedangkan tindak pidana yang dilakukan karena kealpaan dapat dipidana jika secara tegas ditentukan dalam peraturan perundang undangan.

Dalam rumusan pasal 2 ayat (1) UU Tipikor menyebutkan setiap orang yang secara melawan hukum melakukan perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana dengan pidana penjara minimal 4 tahun dan maksimal 20 tahun dan denda paling sedikit 200 juta rupiah dan paling banyak 1 miliar rupiah, dan lebih lanjut lagi pada rumusan pasal 3 UU Tipikor menyebutkan bahwa setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau karena kedudukan yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara dipidana seumur hidup, atau pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 20 tahun dan atau denda paling sedikit 50 juta rupiah dan maksimal 1 miliar.

Mengkaji terkait putusan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Pontianak Kalimantan Barat Nomor 11/Pidus-TPK/2025/PT PTK.
Menimbang setelah memperhatikan dan mencermati pertimbangan hukum Majelis Hakim Tingkat Pertama tersebut di atas, Majelis Hakim Tingkat Banding menilai bahwa Majelis Hakim Tingkat Pertama telah keliru dan salah mengartikan dan menerapkan pemahaman atas perbuatan melawan hukum dimaksud, sehingga pertimbangan Majelis Hakim Tingkat Pertama tersebut tidak dapat dipertahankan dan harus dibatalkan dan diputus bebas oleh Majelis Hakim Tingkat Banding.

Oleh karena itu, Majelis Hakim Tingkat Banding tidak mempertimbangkan rasa keadilan yang hidup di dalam masyarakat, tidak mempertimbangkan dakwaan dan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, dan Majelis Hakim Tingkat Banding juga tidak mempertimbangan rasa keadilan yang bermartabat, dan tidak mempertimbangkan juga hukum dan Undang Undang Tindak Pidana Korupsi serta Asas-Asas Hukum, pada hal dalam
uraian tentang unsur melawan hukum yang dipersalahkan oleh Majelis Hakim Tingkat
Pertama telah dijelaskan secara dalam berdasarkan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sesuai dengan Tuntutan Jaksa Penuntut Umum (sebagaimana tercantum dalam Putusan Nomor
15/PID.SUS-TPK/2025/PN.PTK tanggal 21 Oktober 2025).

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.