Sistem Pertanggungjawaban Pidana Dalam Perspektif Undang-Undang Narkotika

Sistem Pertanggung jawaban piidana dalam perspektif undang undang narkotika
Oleh :
Ramses Terry, Praktisi Hukum & Akademisi, Konsultan Hukum Pertambangan Indonesia, Mediator dan Arbiter Industri Keuangan Indonesia, Wakil Ketua Ujian Profesi Advokat DPN Peradi.
Jakarta, Investigasi Birokrasi.net-, Pertanggungjawaban pidana penyalahgunaan Narkotika tidak hanya dilakukan dengan cara mencocokan perbuatan terdakwa dengan unsur delik dalam undang-undang, tetapi hakim juga harus berpatokan pada syarat pemidanaan yang juga telah ditentukan secara rigid. Oleh karena itu, syarat-syarat pemidanaan terbagi atas dua yaitu tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, sehingga unsur-unsur dari tindak pidana merupakan perbuatan yang terdiri dari mencocokan rumusan delik, melawan hukum, dan tidak ada alasan pembenar. Sedangkan unsur-unsur pertanggungjawaban yaitu merupakan pembuat yang terdiri atas kemampuan tanggungjawab, kesalahan, dan tidak ada alasan pemaaf.

Maka dalam hal ini, hakim dapat mempertimbangkan tentang kesalahan Terdakwa secara komprehensif, baik syarat internal pertanda kesalahannya atau dengan kata lain dengan kesengajaan atau kealpaan maupun dalam keadaan situasi yang normal. Hakim dalam hal ini dapat mempertimbangkan kualifikasi bentuk kesalahan yang terjadi, sampai dengan kualifikasi corak kesalahan yang diperbuat atau dilakukan oleh Terdakwa, maka dalam mempertimbangkan hal tersebut murni menjadi pertimbangan hakim dalam memutuskan perkara Narkotika.

Dalam menjatuhkan tindak pidana atau hukuman oleh hakim tersebut harus bersifat objektif dan subjektif. Objektifitas yaitu harus berdasarkan pemeriksaan dalam persidangan, sedangkan subjektifitas yaitu merupakan kewenangan yang di miliki oleh seorang hakim dalam menjatuhkan suatu putusan pemidanaan, sehingga putusan pidana yang dijatuhkan kepada seorang terdakwa harus bersifat subjektifitas juga harus mengandung sifat objektifitas, berdasarkan hal tersebut, maka pelanggaran atas undang-undang Narkotika tidak dibebani tanggungjawab mutlak, melainkan wajib membuktikan unsur-unsur kesalahan dari diri pelakunya.

Apabila kita melihat ajaran tiada pidana tanpa kesalahan itu mensyaratkan bahwa seseorang dapat di Pidana jika telah terbukti bersalah karena mengetahui dan menghendaki terjadinya suatu perbuatan pidana, baik yang dilakukan serca mandiri atapun bersama sama secara sah dan meyakinkan. Mengutip dari Moeljatno dalam bukunya : Asas-Asas Hukum Pidana, 2008, hlm 185 menjelaskan : Adapun maksud menghendaki dalam teori kesengajaan, berarti adanya kehendak yang diarahkan pelaku tindak pidana untuk mewujudkan sebuah perbuatan yang telah dirumuskan di dalam undang-undang. Sedangkan maksud dari mengetahui merupakan sipelaku yang memiliki pengetahuan pada dirinya bahwa dengan adanya kesengajaan melakukan suatu tindakan pidana, maka akan ada akibat atau keadaan lain yang sifatnya menyertai perbuatan pidana yang dia lakukan terjadi.

Dialam prakteknya, teori kehendak ternyata lebih relavan diterima sebagai wujud kesalahan karena di dalam kehendak juga meliputi teori pengetahuan, berbeda jika sebaliknya. Dimana teori pengetahuan belum tentu ada di dalam teori menghendaki. Sehingga konsekuensinya untuk menentukan suatu perbuatan sebagai suatu hal yang dikehendaki, maka harus dibuktikan bahwa perbuatan itu sesuai dengan motifnya untuk berbuat dan tujuan yang hendak dicapainya, dan antara motif, perbuatan dan tujuan harus ada hubungan kausal dalam batin Terdakwa.

Dengan banyaknya praktik di lapangan yang tidak membuktikan unsur kesalahan pada terdakwa memicu lahirnya Rumusan Pasal Keranjang sampah ( merujuk Rumusan Pasal 112 UU Narkotika) yaitu sebuah pasal dalam undang-undang Narkotika yang digunakan untuk menjaring perkara-perkara narkotika tanpa adanya perumusan tujuan terdakwa terkait penyalahgunaan narkotika, entah itu digunakan untuk dirinya sendiri, atau dijual dan diedarkan.

Untuk mengatasi terkait tanggungjawab tindak pidana Narkotika, pada tahun 2014 BNN mengeluarkan peraturan yaitu terkait Tim Asesmen Terpadu atau pemeriksaan terpadu yang bertujuan untuk menentukan kategori pecandu. Tim Asesmen Terpadu tersebut akan mengeluarkan rekomendasi bahwa seorang pengguna Narkotika apakah merangkap sebagai pengedar atau memang murni sebagai pemakai atau pecandu saja, dan Tim tersebut akan mengeluarkan rekomendasi terkait rencana rehabilitasinya. Peraturan bersama tersebut dengan Nomor 01/PB/MA/III/2014, Nomor 03 Tahun 2014, Nomor : PerBer 005/A/JA/03/2014, Nomor 1 Tahub 2014, Nomor : PerBer/01/III/2014/BNN, tentang penanganan narkotika ke dalam lembaga rehabilitas, selanjutnya disebut sebagai peraturan bersama.

Penentuan kategori penyalah guna narkotika melalui asesmen tersebut dipengaruhi ada dua kategori dalam Undang Undang Narkotika yaitu di dalam Rumusan Pasal 111 yaitu menanam, memelihara, memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan, dan dalam Rumusan Pasal 112 Undang-Undang Narkotika yaitu memiliki, menyimpan, menguasai, atau menyediakan dikenakan sanksi pidana. Sedangkan di dalam Rumusan Pasal 127 jo 103 menyatakan bahwa penyalah guna wajib direhabilitasi, terutama bagi mereka yang wajib lapor. Oleh karena itu, bahwa keduanya menjadi sebuah persoalan ketika dihadapkan bersama dimana seseorang pecandu juga pasti membawa, menyimpan, memiliki dan menggunakan narkotika tersebut.

Sehingga asesmen dilakukan oleh Tim Asesmen Terpadu yang terdiri dari Tim Hukum dan Tim Dokter. Dalam Tim Hukum bertugas melakukan analisis dalam kaitan peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika dan penyalahgunaan narkotika dengan berkordinasi bersama penyidik yang menangani perkara, yang diatur dalam Rumusan Pasal 9 Peraturan Bersama. Asesmen pada poin tersebut dapat dijadikan sebagai modal untuk membantu memenuhi klasifikasi hurf e butir 2 SEMA Nomor 4 Tahun 2010 yaitu tidak terdapat bukti bahwa yang bersangkutan terlibat dalam peredaran narkotika. Melalui Asesmen tersebut maka, atas permintaan penyidik Tim Hukum dapat melakukan analisis terhadap peran seseorang yang ditangkap atau tertangkap tangan itu merupakan korban penyalahgunaan narkotika atau kah hanya sebagai pecandu narkotika atau malah sebagai pengedar narkotika.

Untuk Tim Dokter bertugas dalam Asesmen dan analisis medis psikososial serta merekomendasikan rencana terapi dan rehabilitasi penyalahgunaan narkotika. Dalam Rumusan Pasal 9 Peraturan Bersama bawah Tim Dokter berwenang menentukan kriteria tingkat keparahan pengguna narkotika sesuai dengan jenis kandungan yang dikonsumsi, situasi dan kondiai ditangkap pada tempat kejadian perkara dan merekomendasikan rencana terapi dan rehabilitasi terhadap pecandu narkotika dan korban penyalahgunaan narkotika. Sebagaimana diatur dalam Rumusan Pasal 8 ayat (2) peraturan bersama tim asesmen terpadu diusulkan oleh masing masing pimpinan instansi terkait ditingkat nasional, provinsi dan kabupaten/kota dan ditetapkan oleh Kepala Badan Narkotika Nasional, Provinsi, Kabupaten/Kota.

Baca berita dan informasi menarik lainnya dari investigasibirokrasi.net di Google News.

Related posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

This site uses Akismet to reduce spam. Learn how your comment data is processed.